Skip to main content

Interviewprojecten

Mengumpulkan dan menuliskan cerita-cerita pribadi orang-orang Maluku pada generasi pertama sangatlah penting. Dalam 25 tahun keberadaannya, museum ini telah melaksanakan dua proyek wawancara besar.

 

Sejarah tertulis:

 

Untuk proyek ini, berikut adalah orang-orang yang terlibat dalam wawancara (hanya audio):

  1. Aponno, E. Hazelhoff-Roelfzema, J. Hitiahubessy, bapak Van Hoogstraten, bapak Latumahina, J.J. de Lima, D. Manuputty, ibu N. Manuputty-Tentua, J.A. Manusama, J. Matauseja, ds S. Metiarij, D. Pattiapon, ibu Pormes-Pelupessy, ibu Soumokil-Taniwel, ds H. Supusepa, H. Tan, F. Tutuhatunewa.Wawancara-wawancara diatas telah dilakukan pada periode 1988-1989 oleh Victor Joseph, Wim Manuhutu, ibu Mustamu dan Henk Smeets. Hasil wawancara diatas telah didigitalisasi dan tersedia untuk para pengunjung, mohon membuat janji sebelumnya.

 

Warisan Perang – Saksi Cerita: ‘Perspektif orang Maluku pada masa perang’:

 

Program Warisan Perang merupakan impuls yang sementara dan hanya diberikan sekali dari Departemen Kesehatan, Kesejahteraan dan Olahraga (dalam bahasa Belanda:  ministerie van Volksgezondheid, Welzijn en Sport atau disingkat VWS) untuk melestarikan materi-materi penting dari, dan, tentang Perang Dunia Kedua dan untuk mendorong penggunaannya. Pemerintah ingin memungkinkan adanya peringatan akan periode tahun ’40-’45an, yang antara lain dapat direfleksasikan melalui pengumpulan materi-materi warisan yang sangat berharga. Melalui keragaman materi-materi yang terkumpul, masyarakat dapat membentuk pemikiran tersendiri tentang keadaan pada waktu Perang Dunia Kedua. MuMa sendiri telah mengumpulkan 48 wawancara. Wawancara-wawancara ini telah diambil oleh Ron Habiboe dan Jeanny Vreeswijk Manusiwa, pada orang-orang tua di Belanda dan di Indonesia.

 

Dengan proyek ‘Perspektif orang Maluku pada masa perang’, MuMa ingin menggambarkan pengalaman-pengalaman orang-orang tua Maluku pada saat Perang Dunia Kedua dan setelahnya. Selain kepada orang-orang tua Maluku di Belanda, pengalaman-pengalaman ini juga diceritakan oleh responden-responden yang berada di Indonesia. Mereka yang diwawancarai di Indonesia, kebanyakan mempunyai cerita dan pengalaman yang berbeda daripada mereka yang pada tahun 1951an datang ke Belanda. MuMa sengaja mengambil fokus yang berragam, yang diantaranya terletak pada seleksi para responden yang datang dari berbagai macam lingkup masyarakat serta mempunyai latar belakang agama yang berbeda (Muslim dan Kristen). Pendekatan dari proyek ini dapat dibilang khusus, karena melalui wawancara-wawancara yang diambil pada orang-orang Maluku yang datang ke Belanda dan mereka yang tetap tinggal di Indonesia, telah terbentuk sebuah link antara histioriografi perang di Belanda dan di Hindia-Belanda.

 

Proyek Muma ini menghasilkan 48 wawancara dengan orang-orang Maluku yang sempat mengalami hidup saat Perang Dunia Kedua dan setelahnya. Wawancara-wawancara tersebut telah diambil di berbagai tempat, diantaranya di Kudamati (Ambon), Pelauw (Haruku), Hila (Ambon), Jakarta (Java), Den Haag, Dieren, Barneveld, Ridderkerk dan Bovensmilde. Berbagai tantangan telah terbentuk, khususnya saat wawancara-wawancara yang diambil di Indonesia. Wawancara-wawancara telah diambil dalam bahasa Belanda, bahasa Indonesia, dan berbagai dialek Melayu.

 

Wawancara-wawancara diatas menceritakan bermacam-macam pengalaman dari sudut pandang yang berbeda-beda. Selain menceritakan tentang orang-orang Maluku yang saat Perang Dunia Kedua di Hindia-Belanda, membela Belanda dan melawan kependudukan Jepang dan setelahnya melawan nasionalisme Indonesia (orang-orang Maluku yang datang ke Belanda pada tahun 1951 sebagian besar terdiri dari kelompok tersebut), terdapat juga orang-orang Maluku yang menceritakan tentang penerimaan mereka terhadap penjajah-penjajah Jepang dan tentang loyalitas mereka yang berbeda terhadap Belanda. Sebagai contoh, terdapat beberapa orang-orang Maluku yang dengan bayaran, mengerjakan pekerjaan konstruksi untuk tentara Jepang dan terdapat juga seorang wanita yang secara sukarela dan tanpa penolakan dari masyarakat sekelilingnya, mempunyai hubungan pribadi dengan seorang tentara Jepang.


Sebelumnya, tidak pernah ada cerita seperti diatas dinyatakan dalam kata atau gambar.


Semua wawancara-wawancara yang diambil dalam rangka proyek ‘ Cerita Saksi’, bersama-sama membentuk koleksi digital inti dari program Warisan Perang. Koleksi ini disimpang dalam data digital  pada Data Archiving and Networked Services (DANS). Selain penyimpanan digital diatas, website Cerita Saksi, telah dibentuk oleh Intitusi Belanda untuk Dokumentasi Perang (dalam bahasa Belanda: Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie atau disingkat NIOD). Wawancara-wawancara diatas juga tersedia di Museum Maluku.

Oral History:

f955349frag

handvragen

ridderdiploma_tahija

  ‘.. dan apakah anda dipaksa untuk mempunyai hubungan dengan tentara Jepang? Tidak, bahkan dia terlebih dahulu meminta ijin kepada ayah saya’.

Pada tanggal 21 september 1942, letnan pertama KNIL, J. Tahija (1916-2002), ditunjuk sebagai Ridder tingkat keempat dari Militaire Willems-Orde, terkait dengan keberaniannya membela penguasa Belanda melawan serangan Jepang di pulau Tanimbar (Maluku)

J. Hitiahubessy

Mevr. Soumokil-Taniwel

J.J. de Lima